Selasa, 17 September 2013

Argopuro. feels like a thousand miles, with a thousand stories.

Pernah membayangkan mendaki gunung selama 5 hari 5 malam dengan logistik yang terbatas? Saya juga tidak. Sampai akhirnya saya memutuskan ikut pendakian dua orang senior saya yang sangat ingin ke Gunung Argopuro, tujuan yang sempat tertunda setahun sebelumnya. Kami mendaki berdelapan. Saya juga sangat penasaran dengan gunung itu, yang katanya gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Benar saja, gunung Argopuro berada di Dataran Tinggi Yang dengan luas 14.177 Ha, kita harus melewati pegunungan dengan jalur yang melewati banyaaak padang rumput. Waktu itu kami mendaki saat musim kemarau, jadi padangnya coklat, kering. Tapi tetap saja ada perasaan senang saat melewatinya. Tak terbayang lagi jika mendaki saat musim penghujan, pasti suasananya hijau sejauh mata memandang.
Gunung daerah JawaTimur terkenal dengan gersang dan sulitnya mendapatkan air. Tapi tidak dengan gunung ini. Ada beberapa mata air yang biasa disinggahi oleh pendaki untuk mengambil air. Jika musim kemarau, airnya tidak terlalu banyak. Saat pertama bertemu dengan padang rumput luas, rasanya senang sekali. Tapi sepertinya tidak untuk yang ketiga atau keempat kalinya. Ini sangat menyiksa, pikirku. Yang sangat mengganggu adalah beberapa warga yang seliweran dengan motor bebeknya. Biasanya mereka sampai di pos Cikasur, entah apa yang diambilnya, saya lupa tentang itu. Katanya bisa naik ojek sampai Cikasur, dengan ongkos yang menurutku agak ringan. Karena tujuanku adalah pendakian gunung, jadi ya nikmati saja. Jalan terus pantang mengeluh!

Sebelum sampai di pos Cikasur, kami disambut suara riuh merak hitam. Saya memasang penglihatan dengan sangat awas. Sayang sekali kalau tidak bisa menyaksikan merak ini dengan mata kepala sendiri. Merak yang indah. Warnanya hitam pekat dengan sedikit warna orens di bagian bawah sayapnya. Namun tidak bisa menyaksikannya dengan jarak dekat, mereka sangat menjaga jarak dengan manusia. Kami melewati sungai yang sangat jernih dengan selada air yang sangat banyak di sekitar pinggir sungai. Kami mengambil sebanyak kami bisa, lumayan untuk dijadikan sayur. Sampai saatnya kami tiba di pos Cikasur menjelang magrib, kami langsung menyiapkan diri untuk beristirahat. Entah kenapa perjalanan kali ini rasanya begitu berat. Teman satu tim sangat mempengaruhi mood dan keadaan. Percayalah! :p

pagi hari di pos Cikasur


Yang tak terlupakan saat pendakian ini salah satunya bisa menatap langit malam bertabur bintang dengan puass. Cuaca tanpa bulan malam itu sangat indah untuk melepas penat. Milky Sky yang sangat kuidamkan akhirnya bisa kutatap dengan jelas. Belum lagi saat di pos Rawa Embik. Pernah membayangkan menatap bintang di ketinggian 2700 mdpl ? saya pun tidak. Biasanya cuma berharap bisa menatap di atas gedung tinggi atau di pinggir pantai, itu sudah sangat indah. Di pos Rawa Embik, ketinggian 2700 mdpl, bintang serasa begitu dekat dan jelas. Mungkin senior-seniorku sudah menganggapku “dasar anak kota, baru lihat bintang”. Haha, terserahlah. Saya suka langit, saya suka bintang, dan inilah yang kuidamkan selama ini. Menatap bintang seindah ini. Andai bisa mengabadikan pemandangan itu, tapi ternyata hanya memori otak ini yang bisa menyimpannya. Hanya saja tidak lama bisa menikmatinya. Hawa dingin yang sangat menusuk tulang merayu untuk segera masuk tenda. Selain milky sky-nya yang sangat menggoda, kabut yang menutup seluruh Cikasur saat petang juga sangat menyenangkan untuk dipandang. Di pagi hari (tepatnya subuh), suara merak hitam membangunkan dengan suaranya yang nyaring.

tiba di pos Rawa Embik sore hari


Lagi, ciri khas gunung Argopuro, bunga Edelweis dengan ketinggian diatas 1,5 meter. Untuk pertama kalinya saya melihat Edelweis setinggi itu. Kita bisa menemukannya saat perjalanan menuju pos Rawa Embik. Setelah pos Rawa Embik, lebih banyak lagi, serasa berada di hutan Edelweis. Bukan ladang Edelweis seperti di Alun-alun Surya Kencana, Gn.Gede.  Sepanjang perjalanan juga banyak bunga-bunga liar yang indah. Saya sangat penasaran jika pendakian kami di musim penghujan, pastila sangat indah. Beberapa kali saya menemukan dandelion hutan, ukurannya lebih besar. Kelopaknya yang mengembang dan warna putih, sangat menggoda untuk dipetik. Hehe, maaf. Lagipula, dia memang sudah siap untuk menerbangkan bakal dandelion baru kan? *pembelaan*. Yang sangat kusesali, tidak sempat mengambil gambar sebelum mencabutnya dari tanah. Hiks.

edelweis turun dari puncak

Danau Taman Hidup

Satu lagi, Danau Taman Hidup. Danau tenang yang misterius. Konon, di sana ada ikan sebesar bus yang hidup, bapak penjaga pos pendakian katanya pernah melihat yang sebesar bantal tidur. Katanya, mereka muncul saat malam jumat wage *kalo ga salah ingat*. Katanyaa... haduh, jadi lupa-ingat juga cerita bapak penjaga pos pendakian itu. Intinya, setiap perjalanan pasti meninggalkan cerita yang tak terlupakan. :)

Tidak ada komentar: